2018-01-14

Nabi Muhammadﷺ menikahi Khadijah binti khuwailid


Kisah ini terjadi pada saat beliau telah berusia dua puluh lima tahun. Muhammadﷺ pergi berdagang ke Syam, menjalankan barang dagangan Khadijah,. Ibnu Ishaq menuturkan Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang yang terpandang dan kaya raya.

Dia biasa menyuruh orang-orang menjalankan barang dagangannya, dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka. Sementara orang-orang Quraisy mempunyai hobi berdagang. Tatkala Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan Muhammadﷺ, kredibilitas, dan kemuliaan akhlak beliau. Maka dia pun mengirimkan utusan dan menawarkan kepada Muhammadﷺ agar berangkat ke Syam, untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbaln yang pernah dia berikan kepada pedagang yang lain. Namun Muhammadﷺ harus pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisarah.
Muhammadﷺ menerima tawaran ini, maka beliau berangkat ke Syam untuk berdagang dengan disertai Maisarah.


Setibanya di Makkah dan setelah Khadijah tahu keuntungan dagangannya yang melimpah, yang tidak pernah dilihat sebelumnya, apa lagi setelah pembantunya Maisarah mengabarkan kepada Khadijah atas apa yang di lihatnya pada diri Muhammadﷺ selama menyertainya, bagaimana sifat-sifatnya yang mulia, kecerdikan dan kejujuran beliau, maka seakan-akan Khadijah mendapatkan barangnya yang pernah hilang dan sangat diharapkannya.

Sebenarnya sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang ingin menikahinya, namun dia tidak mau. Tiba-tiba saja dia teringat seorang rekannya, Nafisah binti Munyah. Dia meminta agar rekannya ini menemui Muhammadﷺ dan membuka jalan agar mau menikah dengan Khadijah. Ternyata Muhammadﷺ menerima tawaran ini, lalu beliau menemui paman-pamannya, lalu paman-paman beliau menemui paman-paman Khadijah untuk mengajukan lamaran. Setelah semuanya dianggap beres, maka perkawinan siap dilaksanakan.


Yang ikut hadir dalam pelaksanaan akad nikah adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Hal ini terjadi dua bulan sepulang Muhammadﷺ dari Syam, dan mas kawin beliau adalah dua puluh ekor unta. Usia Khadijah sendiri empat puluh tahun, yang pada masa itu dia merupakan wanita paling terpandang, cantik, pandai dan sekaligus kaya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Muhammadﷺ. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain hingga Khadijah meninggal dunia.



Semua putra-putri beliau, selain Ibrahim yang dilahirkan Mariah Al-Qibthiyah, dilahirkan dari rahim Khadijah.



(Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri)

Perang Fijar dan diadakannya Hilful-Fudhul


Perang yang terjadi pada saat Rasulullahﷺ berusia lima belas tahun antara pihak Quraisy bersama Kinanah berhadapan dengan pihak Qais Ailan. Komandan pasukan dari pihak Quraisy dan Kinana dipegang oleh bin Umayyah, karena pertimbangan usia dan kedudukannya terpandang.

Pada awal mulanya pihak Qais lah yang mendapatkan kemenangan. Namun kemudian beralih kepada pihak Quraisy dan Kinanah.
Dinamakan perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah Haram dan bulan-bulan suci. Dan Rasulullahﷺ ikut bergabung dalam peperangan ini, dengan cara mengumpulkan anak-anak panah bagi paman-pamannya untuk dilepaskan lagi ke pihak musuh.

Sirah Nabawiyah,Ibnu Hisyam, 1/148-147;
Qalbu Jaziratil-Arab, hal: 260;
Muhadharat Tarikhil-Umam Al-Islamiyya, Al-Khadhri, 1/63.

"Sekalipun perang Fijar berlangsung selama empat tahun, namun masa berkecamuknya hanya beberapa hari dalam setiap tahunnya. Selebihnya mereka menjalani kehidupan seperti sedia kala."

Pengaruh dari perang ini, diadakannya Hilful-Fudhul pada bulan Dzul-Qa'dah pada bulan suci, yang melibatkan beberapa kabilah Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Bani Al-Muththalib, Asad bin Abdul Uzza, Zuhrah bin Kilab dan Taimi bin Murrah.

Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud'an At-Taimi karena pertimbangan usia dan kedudukannya yang terhormat. Mereka mengukuhkan perjanjian dan kesepakatan, bahwa tak seorang pun dari penduduk Makkah dan juga yang lainnya dibiarkan teraniaya. Siapapun yang teraniaya, maka mereka sepakat untuk berdiri di pihaknya. Sedangkan terhadap siapa saja yang berbuat zhalim, maka kezalimannya harus dibalaskan. Perjanjian ini juga dihadiri Rasulullahﷺ.
Setelah Allah memuliakan dengan risalah, beliau bersabda,
"Aku pernah mengikuti perjanjian yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud'an, suatu perjanjian yang lebih disukai daripada keledai yang terbagus. Andaikata aku di undang untuk perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhinya."

Nabi Muhammadﷺ, Abu Thalib dan Bahira sang Rahib

Abu Thalib melaksanakan hak anak saudaranya dengan sepenuhnya dan menganggap seperti anaknya sendiri. Bahkan Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan Muhammadﷺ daripada anaknya sendiri, mengkhususkan perhatian dan penghormatan. 

Hingga Muhammadﷺ berumur lebih dari empat puluh tahun mendapatkan kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup dibawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela diri Muhammadﷺ.

Saat usia Muhammadﷺ mencapai dua belas tahun, dan ada yang berpendapat lebih dua bulan sepuluh hari, Abu Thalib mengajak Muhammad pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Busyra, suatu daerah yang sudah termasuk Syam dan merupakan ibukota Haruan. Yang juga merupakan ibukotanya orang-orang Arab, sekalipun dibawah kekuasaan bangsa Romawi.

Di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira yang mana aslinya
 adalah Jurjis. Tatkala rombongan singgah di daerah ini, maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ketempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelum itu rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Muhammadﷺ dari sifat-sifat beliau.

Sambil memegang tangan Muhammadﷺ, sang rahib berkata, 
"Orang ini adalah pemimpin semesta alam, anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam". 
Abu Thalib bertanya, "Dari mana engkau tahu hal itu?".

Rahib Bahira menjawab, 
"Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang Nabi. Aku bisa mengetahuinya dari tanda Nubuwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami".
Kemudian rahib Bahira meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama Muhammadﷺ tanpa melanjutkan perjalanannya ke Syam, karena dia takut gangguan dari pihak orang-orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim Muhammadﷺ bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Makkah.
(Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri)

Rasullullahﷺ bersama kakeknya (Abdul Muthalib)

Bersama Abdul Muthalib di Makkah
Setelah meninggalnya ibunda Rasulullahﷺ di Ab'wa yang terletak diantara Makkah dan Madinah, kemudian Rasulullahﷺ kembali ketempat kakeknya, Abdul Muthalib di Makkah. Perasaan kasih sayang yang di dalam sanubari terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin terpupuk. Cucunya yang harus menghadapi cobaan baru diatas lukanya yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.




Ibnu Hasyim berkata, "Ada sebuah dipan yang diletakkan didekat Ka'bah untuk Abdul Muthalib".

Kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muthalib keluar kesana, dan tak seorang pun diantara mereka yang berani duduk di dipan itu, sebagai penghormatan terhadap dirinya.


Suatu kali di saat Rasulullah kecil yang montok duduk di atas dipan itu, paman-pamannya langsung memegangi dan menahan Rasulullahﷺ kecil agar tidak duduk di atas dipan itu. Tatkala Abdul Muthalib melihat kejadian Ini berkata, "Biarkanlah anak ku ini. Demi Allah, Sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung." Kemudian Abdul Muthalib duduk bersama Rasulullahﷺ kecil di atas dipannya, sambil mengelus punggung Rasulullahﷺ.


Muhammadﷺ di bawah asuhan sang paman
Pada saat Rasulullahﷺ berusia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari, kakek beliau Abdul Muthalib meninggal dunia di Makkah, sebelum meninggal Abdul Muthalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya Abu Thalib, saudara kandung ayah Rasulullahﷺ.

(Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri).

Nabi Muhammadﷺ Dalam Asuhan Ibunda Tercinta, Sang Kakek Abdul Muthalib, Dan Sang Paman Abu Thalib

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Kisah yang terdapat didalam "Sirah Nabawiyah" karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri mengenai kembalinya Muhammadﷺ kepangkuan Ibunda tercinta.
Kisah ini berawal dengan adanya peristiwa tentang pembelahan dada Nabi Muhammadﷺ, maka Halimah(wanita pengasuh bayi Muhammadﷺ dari bani Sa'd) merasa sangat khawatir terhadap keselamatan Nabi Muhammadﷺ, hingga pada akhirnya dia pun mengembalikan kepada ibu beliau.

Al-Abwa', Saudi Arabia

Maka akhirnya Nabi Muhammadﷺ tinggal dan hidup bersama ibunda tercinta hingga mencapai usia enam tahun.

Aminah merasa perlu untuk mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi makamnya di Yastrib. Maka dia pergi dari Makkah untuk menempuh perjalanan sejauh lima ratus kilometer bersama dengan putranya yang telah yatim, Muhammadﷺ, disertai pembantu wanitanya, Ummu Aiman.

Abdul Muthalib pun mendukung akan hal ini.

Setelah menetap sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya bersiap-siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu Aminah jatuh sakit dan pada akhirnya meninggal dunia di Abwa', yang terletak di antara Makkah dan Madinah.


Dalam Asuhan Abdul Muthalib.

Kemudian Muhammadﷺ kembali ke tempat kakeknya Abdul Muthalib di Makkah
Setelah meninggalnya ibunda Rasulullahﷺ di Ab'wa yang terletak diantara Makkah dan Madinah, kemudian Rasulullahﷺ kembali ketempat kakeknya, Abdul Muthalib di Makkah. Perasaan kasih sayang yang di dalam sanubari terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin terpupuk. Cucunya yang harus menghadapi cobaan baru diatas lukanya yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.





Ibnu Hasyim berkata, "Ada sebuah dipan yang diletakkan didekat Ka'bah untuk Abdul Muthalib".

Kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muthalib keluar kesana, dan tak seorang pun diantara mereka yang berani duduk di dipan itu, sebagai penghormatan terhadap dirinya.



Suatu kali di saat Rasulullah kecil yang montok duduk di atas dipan itu, paman-pamannya langsung memegangi dan menahan Rasulullahﷺ kecil agar tidak duduk di atas dipan itu. Tatkala Abdul Muthalib melihat kejadian Ini berkata, "Biarkanlah anak ku ini. Demi Allah, Sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung." Kemudian Abdul Muthalib duduk bersama Rasulullahﷺ kecil di atas dipannya, sambil mengelus punggung Rasulullahﷺ.

Muhammadﷺ di bawah asuhan sang paman
Pada saat Rasulullahﷺ berusia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari, kakek beliau Abdul Muthalib meninggal dunia di Makkah, sebelum meninggal Abdul Muthalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya Abu Thalib, saudara kandung ayah Rasulullahﷺ.

(Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri).

Kisah Barokah bayi Muhammadﷺ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم




Salah satu kisah yang terdapat didalam "Sirah Nabawiyah" karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. Adalah Barokah bayi Muhammadﷺ kepada Halimah binti Abu dzu'aib Bani Sa'd.


Inilah penuturan, sebagaimana dikatakan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah berkisah, suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa'd.


Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata
"Itu terjadi pada masa paceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa". Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambil susunya lagi.
Sepanjang jalan kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi kami yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami tetap masih bisa mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar.

Akupun pergi sambil menunggang keledai kami dan hampir tak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itupun makin lemah kondisinya. 

Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui.

Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawarkan Muhammadﷺ  pasti menolaknya, setelah tahu bahwa Nabiﷺ adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang kami akan susui. Kami semua berkata "Dia adalah anak yatim". Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek Muhammadﷺ, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. 
Tatkala kami sudah bersiap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku, 

"Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi yang disusui"."Demi Allah, aku akan benar-benar mendatangi anak yatim itu dan akan membawanya"

.Maka aku pun menemui bayi itu (Muhammadﷺ), dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain.

Aku segera menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susunya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya, hingga kami bisa meminum air susu unta kami hingga kenyang.

"Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah", kata suamiku pada esok harinya.
"Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu", kataku.

Kemudian kami pun bersiap-siap pergi menunggangi keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan bersama diatas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan diatas punggung keledaiku, sehingga mereka berkata kepadaku, 
"Wahai putri Abu Dzu'aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?"
"Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku yang dulu," kataku."Demi Allah, keledaimu ini kini tambah perkasa," kata mereka.
Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa'd. Aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami datang menyongsong kami dalam keadaan kenyang dan air susunya penuh terisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuanku, lalu aku menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun dia sudah tumbuh pesat.

Kemudian kami membawa kembali kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya.
Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata, 
"Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang bisa menjalar di Makkah." 
Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.

Peristiwa pembelahan dada Muhammadﷺ

Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa Muhammadﷺ didatangi Jibril yang pada saat itu sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. 


Lalu Jibril memegang Muhammadﷺ dan menelentangkannya, lalu membelah dada lalu mengeluarkan hati dan segumpal darah dari dada Muhammadﷺ, seraya berkata, 


"Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu." 


Lalu Jibril mencucinya disebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam. Kemudian menata dan memasukkannya ketempat semula. 


Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata "Muhammad telah dibunuh." Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajahnya semakin berseri.


Peristiwa ini terjadi di saat Muhammadﷺ berusia empat atau lima tahun pada waktu beliau masih tinggal di tengah Bani Sa'd dalam asuhan Halimah binti Abu Dzu'aib.

(begitulah menurut pendapat mayoritas pakar sejarah. 
Menurut riwayat Ibnu Ishaq peristiwa itu terjadi pada usia tiga tahun. 
Lihat Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/164-165).

(Sirah Nabawiyah, Sheikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri)

Kelahiran dan Empat Puluh Tahun Sebelum Nubuwah Rasullullahﷺ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم




Sirah Rasulullahﷺ tak pernah lekang ditelan waktu dan jaman. Bagi siapapun yang mempelajari sejarah beliau, akan memperoleh gambaran sejarah yang amat menakjubkan, bagaimana beliau dan sahabatnya mampu menundukkan pesona duniawi dan mengangkat nilai-nilai kemanusiaan hingga ke suatu tingkatan yang tidak pernah disaksikan oleh lembaga sejarah di mana pun berada.

Awal Kelahiran Rasulullahﷺ.
Rasulullahﷺ dilahirkan ditengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada Senin pagi, 9 Rabi'ul Awwal. Permulaan tahun dari peristiwa Gajah dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M. Berdasarkan penelitian ulama terkenal Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan peneliti astronomi Mahmud Basya.

Ibnu Sa'd meriwayatkan bahwa ibu Rasullullahﷺ berkata:

"Setelah bayiku keluar aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam".
Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Arbadh bin sariyah, yang isinya serupa dengan perkataan tersebut.
Diriwayatkan bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran Rasulullah, yaitu runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra dan padamnya api-api yang bisa disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu amblas ke dalam tanah. Yang demikian itu diriwayatkan Al-Baihaqi, sekalipun tidak diakui Muhammad Al-Ghazali.


Kabar ke Abdul Muthalib
Setelah Aminah melahirkan, dia mengirimkan utusan ketempat kakeknya Abdul Muthalib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muthalib datang dengan penuh sukacita, lalu membawanya kedalam Ka'bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilih nama Muhammad bagi beliau, nama ini belum pernah dikenal dikalangan Arab. Beliau di khitan pada hari ketujuh, seperti yang bisa dilakukan orang-orang Arab.

Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibunya adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab, yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelum itu wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib. Setelah itu ia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.

Tenang Bani Sa'd

Tradisi yang berjalan dikalangan bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya. Sebagai langkah untuk menjauhkan anak-anak tersebut dari penyakit yang bisa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab yang fasih.

 Maka Abdul Muthalib mencari wanita dari Bani Sa'd bin Bakr agar menyusui Muhammadﷺ . Yaitu Halimah bin Abu Dzu'aib, dengan didampingi suaminya Al-Haris bin Abdul Uzza yang bejuluk Abu Kabsyah, dari kabilah yang sama.

Saudara-saudara Nabiﷺ dari satu susunan disana adalah Abdullah bin Al-Haris, Anisa binti Al-Haris, Hudzafa atau judzamah binti Al-Haris, yang julukannya julukannya justru lebih populer dari namanya sendiri, yaitu Ash-Syaima.

Wanita inilah yang menyusui Nabi Saw dan Abu Sufyan bin Al-Haris bin Abdul Muthalib, anak paman Muhammadﷺ.

Peristiwa penggalian sumur Zamzam

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Penanganan air minum dan makanan sepeninggal Hasyim ada ditangan saudaranya, Al-Muththalib bin Abdul Manaf, seorang laki-laki yang terpandang, dipatuhi dan dihormati ditengah kaumnya, yang dijuluki orang-orang Quraisy dengan sebutan "Al-Fayyadh"(sang dermawan).

Syaiban(Abdul Muthalib) menetap dirumah Al-Muththalib hingga dewasa. Tak lama kemudian Al-Muththalib meninggal dunia di Yaman. Maka Abdul Muthalib menggantikan kedudukannya, seperti yang dilakukan oleh bapak-bapaknya terdahulu.
Namun Naufal (paman dari Abdul Muthalib), mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani Abdi Syam bin Abdi Manaf untuk menghadapi Bani Hasyim. Bani khuza'ah yang melihat dukungan Bani An-Najjar terhadap Abdul Muthalib, maka mereka berkata "Kami juga melahirkannya sebagaimana kalian telah melahirkannya. Oleh karena itu kami juga berhak mendukungnya". Hal ini bisa dimaklumi, karena ibu Abdi Manaf berasal dari keturunan mereka.

Maka mereka memasuki Darun Nadwah dan mengikat perjanjian dengan Bani Hasyim untuk menghadapi Bani Abdi Syam yang sudah bersekutu dengan Naufal. Perjanjian persahabatan inilah yang menjadi sebab penaklukkan Makkah.

Peristiwa penggalian sumur Zamzam

Pada awal mulanya Abdul Muthalib bermimpi diminta untuk menggali sumur zamzam dan mencari tempatnya. Maka diapun melaksanakan perintah itu, dan ternyata didalamnya dia mendapatkan berbagai benda berharga yang dahulu pernah dipendam orang-orang Jurhum tatkala sedang berkuasa.

Benda-benda itu berupa beberapa buah pedang, baju perang, dan dua pangkal pelana, yang semuanya terbuat dari emas. Kemudian dia (Abdul Muthalib) menjadikan pedang-pedang itu sebagai pintu Ka'bah dan memasang dua pangkal pelana di pintu itu.

Tatkala sumur zamzam itu ditemukan kembali, maka orang-orang Quraisy ingin ikut campur tangan menanganinya. Mereka berkata "Kami ingin bersekutu".
"Tidak bisa, ini adalah urusan yang secara khusus ada di tanganku", kata Abdul Muthalib. Kecuali setelah menyerahkan keputusan kepada seorang dukun wanita dari Bani Sa'd. Mereka tidak akan pulang kecuali setelah Allah memberinya sepuluh anak laki-laki, dan setelah mereka besar dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia akan mengorbankan (menyembelih) salah seorang diantara mereka di hadapan Ka'bah.

Abdul Muthalib memiliki sepuluh anak laki-laki, :
Al-Harits, Az-Zubair, Abu Thalib, Abdullah, Hamzah, Abu lahb, Al-Ghaidaq, Al Muqawwim, Shaffar, dan Al-Abbas.
Ada yang berpendapat anaknya ada sebelas, yaitu ditambah Qatsam.
Ada pula yang berpendapat anaknya ada tiga belas, yaitu Abdul Ka'bah dan Hajjla.
Ada pula yang berpendapat Abdul Ka'bah adalah Al-Muqawwim, dan Hajjla adalah Al-Ghaidaq, sementara itu tak ada seorangpun diantara anak-anaknya yang bernama Qatsam.

Sedangkan anak perempuannya ada enam orang :
Ummul-Hakim atau Al-Baidha, Barrah, Atikah, Shafiyyah, Arwa dan Umaimah.

(Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri)

Kisah Abdul Muthalib bin Hasyim

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم



Salma binti Amru bersama keluarganya di Madinah mengandung anak dari Hasyim bin Abdu Manaf, lalu Hasyim melanjutkan perjalanannya ke Syam. Namun Hasyim meninggal dunia saat menginjakkan kakinya di Palestina.
Sementara Salma melahirkan Abdul Muthalib pada tahun 497M, dengan nama Syaibah, karena ada rambut putih (uban) di kepalanya.
Adapun pengasuh selanjutnya diserahkan kepada bapak Salma di Yastrib. Sementara tak seorang pun dari keluarga Hasyim di Makkah yang merasakan kehadiran Abdul Muthalib.
Hasyim mempunyai empat putra :

  1. Asad,
  2. Abu Shaifi,
  3. Nadhlah dan
  4. Abdul Muthalib.

Serta lima orang putri :

  1. Asy-Syifa,
  2. Khalidah,
  3. Dha'ifah,
  4. Ruqayyah dan
  5. Jannah.

(Surah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/2-4;
Talqihu Fuhumi Ahlil-Atsar, hal.6;
Khulashatus-Sair,
Ath-Thabari, hal.6;
Rahmah Lil'-alamin, 2/8.
Ada perbedaan dalam menyebutkan nama-nama ini dan ada pula sebagian yang tidak disebutkan.)

Abdul Muthalib

Sepeninggalnya Hasyim, penanganan air minum dan makanan ada di tangan saudaranya Al-Muththalib bin Abdu Manaf. Seorang laki-laki yang terpandang, dipatuhi dan terhormat ditengah kaumnya, yang dijuluki orang-orang Quraisy dengan sebutan Al-Fayyadh (Sang dermawan), karena dia memang seorang dermawan.

Tatkala Al-Muththalib mendengar bahwa Syaiban (Abdul Muthalib) sudah tumbuh menjadi seorang pemuda atau lebih tua lagi, maka dia segera mencarinya. Setelah keduanya saling berhadapan, kedua mata Al-Muththalib meneteskan air mata haru, lalu dia memeluknya dan bermaksud membawanya. Namun Abdul Muthalib menolak ajakan itu kecuali jika ibunya mengijinkan. Namun ibunya(Salma bin Amru) juga menolaknya.
"Sesungguhnya dia pergi ke tengah kerajaan bapaknya dan tanah suci Allah," kata Al-Muththalib mengajak.
Akhirnya ibunya pun mengijinkannya dan sesampainya di Makkah orang-orang berkata "inilah dia Abdul Muthalib". Lalu Al-Muththalib berkata"Celakalah kalian. Dia adalah anak dari saudaraku Hasyim."

Kemudian Abdul Muthalib tinggal bersama Al-Muththalib hingga dewasa, hingga Al-Muththalib meninggal dunia di Yaman. Lalu Abdul Muthalib menggantikan kedudukannya. Dia hidup ditengah kaumnya dan memimpin mereka seperti bapak-bapaknya terdahulu. Dia mendapatkan kehormatan tertinggi di kaumnya, yang tidak pernah diperoleh bapak-bapaknya.

Namun Naufal (Paman Abdul Muthalib) merebut sebagian wilayah kekuasaannya yang membuat Abdul Muthalib marah. Maka dia meminta dukungan kepada beberapa pemimpin Quraisy untuk menghadapi pamannya. Namun mereka berkata, "Kami tidak ingin mencampuri urusan antara dirimu dan pamanmu." Maka dia menulis surat yang ditujukan kepada paman-paman dari pihak ibunya Bani An-Najjar, berisi beberapa bait syair yang intinya meminta pertolongan kepada mereka.

Salah seorang pamannya, Abu Sa'd bin Adi membawa delapan puluh pasukan berkuda, lalu singgah di pinggiran Makkah. Kemudian mencari Naufal yang pada saat itu sedang duduk di Hijir bersama pemuka Quraisy.

Abu Sa'd langsung menghunus pedang dan berkata,
"Demi penguasa Ka'bah, jika engkau tidak mengembalikan wilayah kekuasaan anak saudariku, maka aku akan membebaskan pedang ini ke lehermu."
Lalu Naufal mengembalikannya dipersaksikan para pemuka Quraisy.

Di "antara peristiwa penting yang terjadi di Baitul-Haram semasa Abdul Muthalib" adalah 







Abdul Muthalib memiliki sepuluh anak laki-laki, :


  1. Al-Harits, 
  2. Az-Zubair, 
  3. Abu Thalib, 
  4. Abdullah
  5. Hamzah, 
  6. Abu lahb, 
  7. Al-Ghaidaq, 
  8. Al Muqawwim, 
  9. Shaffar, dan 
  10. Al-Abbas.

  • Ada yang berpendapat anaknya ada sebelas, yaitu ditambah Qatsam.
  • Ada pula yang berpendapat anaknya ada tiga belas, yaitu Abdul Ka'bah dan Hajjla.
  • Ada pula yang berpendapat Abdul Ka'bah adalah Al-Muqawwim, dan Hajjla adalah Al-Ghaidaq, sementara itu tak ada seorangpun diantara anak-anaknya yang bernama Qatsam.
Sedangkan anak perempuannya ada enam orang :
  1. Ummul-Hakim atau Al-Baidha,
  2. Barrah, 
  3. Atikah, 
  4. Shafiyyah, 
  5. Arwa dan 
  6. Umaimah.

Featured Post

Kisah Perjuangan Rasululahﷺ Dalam Berdakwah